Sabtu, 19 September 2020

Bloding Vs Kerja Polisi Menungkap Sebuah Tindak Pidana di Lembata

 

Kecanggihan teknologi bagi pengungkapan sebuah tindak pidana sudah tak diragukan lagi. Teknologi forensik bahkan tak cuma mengungkap penyebab kematian, tetapi memungkinkan terbongkarnya pelaku kejahatan. Tetapi berbeda dengan masyarakat budaya Lamaholot. Kendati hidup dijaman modern, masyarakat adat lamaholot yang menyebar dari kabupaten flores timur, hingga kabupaten lembata punya cara sendiri untuk mengungkap sebuah misteri kematian.

Pengungkapan misteri kematian dengan cara tak lazim dan cendrung berbau mistis magis itu, oleh orang lamaholot disebut “BLODING” ada sebagian kecil masyarakat lamalot lainnya menyebutnya dengan “NEBI”. Bloding atau Nebi, dalam bahasa indonesia dikenal dengan sebutan “KERASUKAN”

Bloding atau kerasukan menurut wikipedia ensikolopedia bebas adalah, sebuah fenomena di saat seseorang berada di luar kendali dari pikirannya sendiri dan sama sekali tidak responsif terhadap rangsangan eksternal tetapi mampu mengejar dan mewujudkan suatu tujuan, atau secara selektif responsif dalam mengikuti arahan dari orang yang telah menginduksi kerasukan. Keadaan kerasukan dapat terjadi tanpa sadar dan tiba-tiba.

Kerasukan dalam pemahaman orang Lamaholot, merupakan sebuah peristiwa mistis dimana seorang yang mengalami kerasukan, berada diluar kendali pikirannya sendiri, dan diyakini tubuh dan pikiran orang yang dirasuk, dimanfaatkan oleh roh tanpa tubuh untuk mengekspresikan diri.

Kerasukan dalam dalam konteks orang meninggal akibat kasus pembunuhan, korban memanfaatkan tubuh orang hidup sebagai media untuk menyampaikan cerita tentang motif dan pelaku pembunuhan.

Memang fenomena kerasukan, bukan cara pengungkapan kasus pidana yang diakui undang-undang. Tetapi fenomena kerasukan dalam budaya Lamaholot masih diyakini kebenarannya.

Misteri kematian almahrum Yohakim Lakaloi Langoday dimana pelaku pembunuhannya sudah diputus bersalah karena terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan, juga kasus hutan keam berdarah dengan korban, mantan Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Lembata, Almahrum Laurens Wadu, yang juga pelakunya sedang menjalani masa hukuman di penjara.  

Adalah dua kasus yang dalam kerja penyelidikan diwarnai dengan fenomena Bloding, bahkan bukan cuma dua, ada beberapa misteri kematian lain di Lembata, pun terungkap karena bermula  dari peristiwa Bloding.

Tentang bloding atau kerasukan, beberapa minggu belakangan, publik Lembata disajikan informasi terkait misteri kematian seorang warga Desa Watodiri, Kanisius Tupen. Berbagai informasi yang dilansir media lokal menyebutkan, alhmaruh Kanisius Tupen yang temukan tak bernyawa dalam posisi berdiri di dasar laut sekitar wilayah desa watodiri itu, baru diadukan keluarga ke pihak Polres Lembata tiga bulan setelah penemuan mayat, atau setelah adanya fenomena bloding.

Cerita tentang kematian warga desa Watodiri yang sempat saya sadap menyebutkan, melalui bloding, korban dengan sangat jelas menyebut nama dan cara orang yang menghabisi nyawanya.

Karena bloding adalah sebuah peristiwa mistis, maka hanya orang-orang dengan kemampuan tertentu yang bisa memastikan kalau tubuh seseorang sedang dalam pengusaan roh tanpa tubuh. Tetapi tidak dipungkiri, kalau kadang ada yang berlaku seolah-olah mengalami bloding. Tetapi, bloding dipercaya terutama karena kerasukan seorang korban pembunuhan, biasanya, tubuh media, menunjukan ciri fisik roh ketika masih hidup.  

Lantas dalam dunia peradilan modern, dapatkah bloding menjadi cara bagi pihak kepolisian untuk menungkap kasus? Saya yakin semua kita sudah pasti menolak, dan mengatakan tidak.

Penetapan tersangka sebagaimana pasal 1 angka 14 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap 12/2009) disebutkan bahwa : 1) Status tersangka hanya dapat ditetapkan penyidik kepada seseorang setelah hasil penyelidikan dilaksanakan memperoleh bukti permulaan yang cukup, yaitu paling sedikit dua alat bukti. 2) Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup ditentukan melalui gelar perkara.

Dan alat bukti yang sah menurut undang-undang 184 KHUP adalah, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk , dan keterangan terdakwa.

Merujuk pada ketentuan perundangan diatas, maka jelasnya bloding bukanlah cara tepat bagi polisi untuk mengungkap sebuah kasus pembunuhan, namun tidak juga berarti bahwa, cerita mistis dalam bloding tidak bisa dijadikan sebagai pintu masuk dalam penyelidikan sebuah kasus.

Terhadap misteri kematian Kanisus Tupen, toh, penyelidikan bermula dari pengaduan keluarga yang  sebagaimana dirilis media lokal menyebutkan, laporan polisi buat kerabat dekat korban Kanisius Tupen, berdasarkan cerita bloding.

Sebagai catatan : Ulasan sederhana ini, sebagai tanggapan atas fenomena bloding yang belakangan sering hadir menghiasi kehidupan kita. Tentu ulasan ini pun tidak saya maksudkan untuk mengarahkan kepada pembaca agar percaya, kalau peristiwa yang melekat dengan mistis magis itu adalah sebuah kebenaran hakiki, dan diyakini sebagai sebuah sarana dalam mengungkap sebuah kasus pidana.

Semoga Bermanfaat...

Ditulis oleh, Elias Kaluli Making

Tidak ada komentar:

Posting Komentar