![]() |
Ile Lewotolok, (Foto : Yogi Making) |
Sebagaimana diketahui bahwa akibat erupsi, ada ribuan warga asal kecamatan Ile Ape dan Ile Ape Timur menggungsi. Selain di rumah-rumah keluarga, pemerintah juga menyiapkan beberapa posko penanganan pengungsi.
Meski terdapat ragam kekurangan, namun dapat dikatakan bahwa penanganan pengungsi korban erupsi Ile Lewotolok secara umum terbilang baik. Selain pemerintah, bantuan juga datang dari berbagai pihak. Dari sisi kesehatan, pun dibutuhkan penanganan khusus. Tak cuma penanganan kesehatan fisik, kesehatan psikispun penting untuk diperhatikan.
Tidak kita pungkiri, bila selama masa mengungsi banyak warga yang sakit. Ada diantaranya menderita sakit bawaan, tetapi ada pula yang menderita sakit saat berada dipengungsian. Kita juga mencatat, sejak erupsi hingga sekarang beberapa warga meninggal dunia. Mengenai warga yang meninggal selama masa penggungsian saya tidak punya data lengkap, tetapi khusus untuk desa Jontona, hingga Minggu 27 Desember 2020 tercatat empat telah warga berpulang menghadap sang khalik.
Tentu bukan karena salah pemerintah, karena sepengetahuan saya, khusus di posko-posko utama, selalu disiagakan petugas medis. Pelayanan kesehatan bagi pengungsi dilakukan secara gratis, termasuk bila ada pengungsi yang sakit dan terpaksa harus dilarikan ke Rumah Sakit dan menjalani rawat inap.
Ok, saya kira penanganan kesehatan fisik clear, tetapi bagaimana dengan penanganan gangguan psiskis akibat stres dan trauma bencana? Kegiatan perlindungan pengungsi pada keadaan darurat bencana sesuai Perintah pasal 14 huruf “d” Peraturan Badan Penanganan Bencana Nasional Nomor 3 tahun 2018, meliputi, penyediaan layanan kesehatan dan psikososial.
Psikososial adalah suatu kondisi yang terjadi pada manusia yang mencakup aspek psikis dan sosial atau sebaliknya. Psikososial merujuk pada hubungan yang dinamis antar faktor psikis dan sosial yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. (Ahmad Baihaqy; dictio.id), masalah psikososial diantaranya: beduka, Ansietas atau kecemasan atas situasi yang dianggap berbahaya, ketidakbersayaan, resiko perilaku sehat, gangguan citra tubuh, koping tidak efektif, koping keluarga tidak efektif, sindrom pasca trauma, penampilan peran tidak efektif, dan HDR situasional.
Merujuk pada definisi dan penyebab gangguan psikososial diatas, maka bukan tidak mungkin gangguan psikosiosial dapat dialami oleh pengungsi. Beberapa fakta lapangan bisa kita lihat, banyak pengungsi yang walau telah berada di tempat aman, tetapi selalu merasa cemas, bahkan takut pulang kampung, karena membayang ancaman kematian akibat erupsi Ili Lewotolok.
Kondisi ketakutan seperti ini bisa menjadi akut, bahkan bagi warga yang mungkin mengidap penyakit bawaan tertentu, bisa berakibat fatal. Catatan ini sengaja saya sampaikan, sebagai saran bagi pemerintah dan pihak pemerhati bencana erupsi Ile Lewotolok, agar mulai berpikir dan melakukan pendampingan warga pengungsi untuk mencegah terjadinya gangguan psiskososial masif.
Trauma berat akan bencana sudah terjadi, apakah langkah penanganan dan pendampingan warga untuk mencegah dan rehabilitasi warga pengungsi dari gangguan psikososial, terlambat?
Penanganan Kesehatan Jiwa (halaman 130, Buku Pedoman Teknis Penaggulangan Krisis Kehatan Akibat Bencana terbitan Depkes RI Tahun 2007), meliputi meliputi 2 fase Penanganan Kesehatan Jiwa.
Fase pertama disebut Fase Kadaruratan akut, dalam fase ini intervensi masalah psikososial dilakukan setelah 48 jam setelah bencana, atau 2 hari setelah bencana. Dan fase kedua adalah fase rekonsolidasi, pada fase ini dilakukan intervensi psikososial yang relevan dan kegiatan psikoedukasi.
Gejala psikososial seperti, rasa cemas, gelisah dan panik, sedih, mengisolasi diri, gangguan tidur, juga berkurangnya napsu makan, serta beberapa gejalan lain, mulai tampak. Gejala-gejala seperti ini adalah, tanda-tanda ringan yang bisa diatasi dengan edukasi dan pemberian informasi yang benar, namun bukan tidak mungkin, gangguan psikososial ringgan ini menjadi menetap dan bisa saja menimbulkan akibat fatal bagi penderitanya.
Sebagaimana yang saya sampaikan pada bagian terdahulu, perhatian pemerintah dan kelompok organisasi relawan terhadap pengungsi korban erupsi Ili Lewotolok, terbilang baik, yang ditandai dengan ketersediaan tenaga relawan, pelayanan logistik dan perbekalan memadai, penyediaan petugas kesehatan dan sarana kesehatan.
Namun disisi lain belum tampak penanganan masalah gejala psikososial. Saya tidak bermaksud untuk mengatakan belum dilakukan upaya pencegahan gejala psikososial, karena setahu saya, sudah mulai muncul relawan yang khusus mengajak anak untuk bermain, tetapi bagaimana dengan penanganan terhadap orang dewasa?
Situasi warga penggungsi dengan gejala gangguan psikososial, bahkan bisa diperparah dengan informasi-informasi kebencanaan yang tersebar bebas tanpa bisa di filter dengan baik yang dengan mudah diakses melalui akun-akun media sosial.
Tak kalah seruhnya dengan dengan informasi digital, Informasi lisan tentang erupsi, banjir lahar dingin yang mengancam pemukiman, peta zonasisi wilayah berbahaya, juga info terkait kondisi hewan ternak yang tidak diurus terus terus saja mendera warga pengungsi. Penyebaran informasi kebencanaan yang tidak terfilter ikut mempengaruhi keadaan psikologi penggungsi.
Dengan demikian, melalui catatan ini, ingin saya himbau kepada semua yang peduli dengan bencana erupsi Ile Lewotolok, untuk mulailah berhati-hati dan cobalah memilah pilih, informasi yang patut dan tak patut untuk disampaikan. Ada informasi yang baik untuk disampaikan secara umum, tetapi ada pula yang hanya cukup didiskusikan dalam kalangan tertentu. Bukankah dalam situasi tanggap darurat yang tanpa bisa diprediksi kapan berakhirnya ini, dimanfaatkan untuk menyampaikan informasi-informasi yang menguatkan dan memberi keyakinan pada warga korban erupsi agar menimbulkan keyakinan dan menggembalikan rasa percaya diri.
Tentu himbauan yang sama pun saya sampaikan buat Pemerintah, bahwa situasi tanggap darurat dengan ribuan penggungsi memang rumit dan butuh pikiran ekstra untuk memage, namun perlu juga diingat, bahwa penanganan pengungsi harus dilakukan secara menyeluruh, awal sampai akhir sampai pada tahap rehabilitasi. Terhadap penanganan kesehatan psikis, sebagaimana petunjuk buku pedoman teknis penanganan kesehatan akibat bencana, haruslah melibatkan banyak pihak. Mulai tokoh masyarakat, tim relawan, tenaga medis, sampai pada guru agama.
Selain itu, saya pun berharap agar pemerintah perlu memfilter informasi secara baik, serta melakukan edukasi penanganan bencana secara benar dan rutin kepada warga pengungsi, Tentu dengan harapan, warga korban bencana harus tetap sehat jiwa, untuk menghadapi hidup pasca bencana. SEMOGA (Yogi Making-27 Desember 2020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar