![]() |
Rebutan masuk ke laut, Foto : Yogi Making |
Firdaus sudah lama menghilang dan rasanya kisah
firdaus hanyalah sebuah keniscayaan untuk di temukan dalam kehidupan dunia
modern. Namun budaya penangkapan ikan di Kampung Lewolein, desa Dikesare, Kecamatan
Lebatukan, Kabupaten Lembata, memberi gambaran kalau Firdaus itu benar-benar ada.
Betapa tidak, rombongan ikan liar yang hidup bebas di laut lepas ternyata bisa
akrab dengan kehidupan manusia.
Rombongan ikan di Lewolein, dalam waktu
tertentu datang ke bibir pantai dan “memasrahkan” dirinya untuk ditangkap,
bahkan ceritera yang berhasil dihimpun media ini menyebutkan, rombongan ikan
itu, bisa di panggil sewaktu-waktu jika di butuhkan. Bagi orang Lewolein, ikan
adalah sahabat, dan siap membantu ketika manusia dalam kesulitan.
Pengalaman menarik itu dialamai langsung kala media ini diajak untuk meliput prosesi “re’wa ik’e” (tangkap ikan-Lewolein, Red), di pantai teluk Lewolein, Sabtu (16/5/2015). re’wa ik’eadalah budaya penangkapan ikan yang diwariskan secara turun-temurun. Ikan Jenis Lamuru atau tembang, dalam sebutan masyarakat Lembata merupakan ikan “piaraan” masyarakan Lewolein. Bila saatnya tiba, ratusan masyarakat Lewolein berbondong-bondong merendam diri kelaut dan menangkap ikan sepuasnya, semampunya untuk dibawah pulang untuk memenuhi kebutuhan eknomi rumah tangga.
Amir Raya Paliwala, tokoh adat Lewolein ini menuturkan, budaya penangkapan ikan yang diwariskan secara turun-temurun ini, baru kembali hidup. Tiga tahun sebelumnya, ikan Lamuru atau ikan piaraan orang Lewolein sempat menghilang dari sisi kehidupan masyarakat. Dia mengatakan, hal ini terjadi karena ada sedikit pertentangan dalam tubuh kelompok suku yang dianggap sebagai “pemilik” ikan.
“Suku pemilik ikan adalah Paliwala. Suku ini terbagi dalam tiga tingkatan dengan tugas dan tanggungjawab yang berbeda, yakni Paliwala Iku, Paliwala Koro, dan Paliwala Kote. Dalam urusan dengan laut, di pegagang oleh suku Paliwala Iku. Namun karena diantara kami ada sedikit perselisihan, jadi leluhur marah, akibatnya ikan menghilang selama tiga tahun. Sekarang ikan baru datang lagi, karena kami baru kembali baikan,” tutur Amir.
Dia mengatakan, dalam struktur adat masyarakat Lewolein, Paliwala merupakan suku yang tuan tanah, dan salah satu tugas dari suku ini adalah berkaitan dengan menjaga keselarasan hidup antara manusia dan alam, dengan cara melakukan upacara ceremonial adat, memberi sesajian kepada wujud tertinggi yang mereka sebut dengan “Lera wulan tana ekan, ama opo koda kewokot”. Menurutnya, alam akan baik dan bersahabat dengan manusia, jika manusia mampu menjaga dan memanfaatkan alam secara baik pula.
Berendam sambil menangkap ikan Foto : Yogi Making |
Menjaga alam harus dimulai dalam diri, kata tokoh tuan tanah ini. hubungan antar sesama pun harus baik. Leluhur sang penjaga semesta marah jika hubungan antar manusia tak bersabahat, bersamaan dengan itu alam akan murka, dan menjauh dari kehidupan manusia.
“Bagaimana leluhur mau membagi rejeki untuk kita, kalau kita tidak jaga alam ini dengan baik, kalau hubungan antara kita juga tidak bersahabat, kita saling bermusuhan, atau ada dendam antar kita? Tuhan saja tidak mau kalau kita berserah diri kepada-NYA tetapi kita masih menyimpan dendam dengan dengan sesama,” ujarnya.
Semetara itu, tokoh Lewolein lainya, Lusius Loli Making yang di wawancara beberapa saat setelah mengikuti pesta penagkapan ikan menjelaskan, ada tanda khusus dimana suku penjaga ikan itu tau, kalau ikan sahabat mereka sudah datang berkumpul dan siap untuk di tangkap. Dia mengatakan, leluhur datang dan menjelma dalam bentuk ular laut, berwana hitam putih, berekor ceper. Ular jenis ini datang kerumah penjaga ikan, bahkan tidur diantara manusia.
“Kehadiran leluhur “Hari Lewa, boto bolo” (leluhur dari laut-red) ini bukan fiksi. Kita semua bisa lihat. Tetapi dia tidak berbahaya, dia sangat jinak dengan manusia. Kalau tanda itu sudah ada, biasanya nanti ada orang khusus yang tugasnya mengamati ikan akan datang lapor bahwa sekarang ikan sudah berkumpul. Setelah menerima laporan, merekan menghitung waktu, terutama saat musim surut. Penangkapan ikan, baru terjajdi saat pemilik ikan sudah menggelar ritual adat. Setelah itu, penjaga ikan datang ke pemerintah desa untuk sampaikan kalau ceremoni sudah dibuat, jadi tolong umumkan kepada masyarakat, bahwa besok turun tangkap ikan,” jelas Lusius, yang tak lain adalah guru PNS pada salah satu sekolah dasar di kecamatan Lebatukan itu.
![]() |
Berburu ikan Foto : Yogi Making |
Ceritera guru Loli itu dibenarkan juga oleh Eustakius Rafael Suban Ikun,tokoh yang pernah menjabat sebagai kepala desa Lewolein dua periode. Menurutnya, cara menyampaikan masyarakat untuk menangkap ikan menggunakan bahasa isyarat. Dalam pengumuman, pemerintah menyampaikan dalam bahasa isyarat.
“Masyarakat disini sudah tau. Kalau ada pengumuman bahwa, anak kecil, orang besar, tua, muda, laki dan perempuan, besok kita kerja bakti, berarti ada penangkapan ikan. Tetapi kalau pemerintah umumkan bahwa, besok orang besar turun kerja bakti, artinya benar kita kerja bakti di kampung,” ulasnya.
“Pesta” penangkapan ikan di kampung pesisir utara Lebatukan itu berbeda dengan cara penangkapan ikan umumnya. Warga dilarang mengunakan alat bantu seperti pukat, jala atauperalatan tangkap lain. Budaya penangkapan ikan lewolein ini unik, masyarakat hanya menangkap dengan menggunakan tangan. Saat turun kelaut, semua warga menggenakan sarung, yang sudah diikat pada tubuh dengan cara sedemikian rupa sehingga terdapat semacam kantong besar. Ikan yang berhasil ditangkap, dimasukan kedalam kain yang terlilit kuat pada tubuh setiap warga.
Pesta penangkapan ikan ini hanya berlangsung tak lebih dari satu jam. Warga boleh, menangkap sebanyak-banyaknya, semampunya.
Seperti disaksikan, penangkapan ikan yang berlangsung selama kurang dari 1 jam itu berlangsung meriah, teriakan warga tanda kebahagiaan, terdengar membahana memecah kesunyian pantai Lewolein.
Tak peduli, kecil atau besar, tua maupun muda, petani, pegawai, guru, bahkan pejabat sekalipun berlarian meceburkan diri kedalam laut, tempat romobongan ikan berkumpul, semua seakan berlombah untuk mendapatkan yang terbanyak. Saya merinding, ketika menyaksikan peristiwa langkah ini. Sungguh, alam benar-benar bersahabat dengan manusia.
Moting
Dalam budaya penangkapan ikan dikenal juga istilah moting. Moting dalam bahasa Lamaholot merupakan tempat berkumpul satu kelompok orang yang se faham. Kelompok ini, biasanya terdiri dari orang-orang yang berdekatan kebun, atau juga tetangga bahkan boleh berbeda suku.Dalam budaya penangkapan ikan di Lewolein terdapat lima moting.
Setiap moting, memiliki tugas untuk menjaga, dan mengamati ikan. Jika dalam pengamatan, ikan piaraan yakni, ikan jenis Lamuru sudah berkumpul, salah satu dari kelompok moting itu (biasanya orang yang ditugaskan untuk menjaga dan mengamati ikan dalam moting) lalu menyampaikan informasi kepada suku tuan tanah, atau orang pemilik ikan, untuk selanjutnya di gelar acara cermonial adat penangkapan ikan.
![]() |
Ikan Hasil Buruan Foto : Yogi Making |
Ceritera tentang moting ini disampaikan Sisko Making, orang muda Lewolein itu menjelaskan, terdapat lima moting di Lewolein, masing-masing moting Muda Langu, moting Obe, Woi, moting Gos Bele, Pao Langu. Dalam setahun, tempat penangkapan ikan dilakukan secara bergilir pada masing-masing moting.
“Kali ini, giliran moting Obe punya. Nanti di musim surut berikut, dia akan pindah lagi ke moting yang lain. Setiap orang yang turun menangkap ikan, wajib menyerahkan sedikit dari hasil tangkapan ke pemilik moting, nanti ada orang yang bertugas khusus untuk jalan ambil ke masing-masing orang.
Ikan yang dikumpul dari warga itu, akan di bagi merata ke setiap anggota moting.” Jelas Sisko.
Sebagaimana dalam ulasan terdahulu, ikan hasil tangkapan, selain dijadikan santapan, tetapi sebagian akan di jemur kering untuk dibarter dengan jagung ke warga-warga di pedalaman Lebatukan.
Untuk itu, informasi penangkapan ikan, wajib
disebar ke warga pedalaman. “nanti hari selasa, saat pasar di Tapolangu, ada
barter antara orang lewolein dengan orang dari pedalaman. Biasanya, ikan
dihitung pertali, satu tali ada minimal dua puluh ekor, ditukar dengan jagung
satu mongan (1 mongan = 5 batang jagung)” jelasnya lagi.
Sisko sang pengusaha muda ini juga menuturkan, budaya penangkapan ikan tidak sekedar tergantung tanda, namun bisa ada pengecualian, terutama untuk menghormati tamu. “Kalau ada tamu penting datang, biasanya kami buat upacara ini, selain untuk tamu kenal budaya kami, juga ikan hasil tangkapan, untuk dipakai menjamu sang tamu,” tambahnya.
“Firdaus Yang Kembali”
Firdaus atau dalam sebutan Yunani paradeisos, berarti kebun atau surga. Tempat kehidupan manusia pertama Adam dan Hawa. Dalam ceritera kitab perjanjian lama, kehidupan manusia pertama yang mulanya digambarkan sangat akrab dengan alam, hancur karena perbuatan dosa. Sejak itulah, taman kehidupan nan damai tak lagi ditemukan.
Khayalan yang demikian indahnya itu menggugah pujangga Inggris, John Milton (1608-1974), dengan karya tulis yang mengagumkan “Paradise Lost” (16670) atau Firdaus yang hilang. Kemudian Paradise Regained (1671) kisah kepahlawanan untuk menemukan kembali Firdaus yang hilang. Andai saja, Milton adalah warga Lewolein, mungkin dia akan mengatakan kalau Firdaus yang hilang itu ditemukan di Lewolein. Dan pastinya, orang Lewolein adalah pahlawannya.
Keselasaran hidup antara manusia dan alam yang ditunjukan masyarakat adat Lewolein, sepatutnya menjadi pelajaran berharga untuk semua kita, terutama untuk kembali “bertobat” dan berjanji untuk berdamai dengan alam. Sudah saatnya masing-masing kita berusaha untuk kembali menciptakan “Firdaus” dalam setiap lingkungan tempat kita hidup.
Lewolein
![]() |
Landscape Pantai Lewolein-Lembata Foto : Yogi Making |
Kampung Lewolein, Desa Dikesare berjarak 27 kilo meter dari Lewoleba, Ibu Kota Kabupaten Lembata. Pengunjung tak perlu bingung untuk datang ke sana, menggapai Lewolein tidak sulit, karena selain bisa dijangkau dengan kendaraan pribadi, juga banyak tersedian kendaraan umum, dan kendaraan sewaan. Soal harga sewaan tergantung kepandaian untuk bernegosiasi. Prinsipnya, harga sewaan tak mungkin merobek kantong.
Lewolein sejak dulu dikenal sebagai sebuah destinasi pariwisata, pantainya terkenal indah dengan panorama alamnya yang eksotik, terdapat dua tanjung yang mengapit dari sisi kiri dan kanan. Jauh di depan terlihat megah gunung Ile lewotok.
Lewolein juga dikenal sebagai tempat persinggahan, karena itu, disisi kiri dan kanan jalan terdapat lapak jualan. Berbagai jenis makanan lokal, seperti ketupat, ikan bakar singkong rebus, pisang dan banyak lainnya tersaji dan silahkan dipesan sesuai selera. (Yogi Making)
Artikel ini pernah dimuat di Majalah On Line www.floresbangkit.com. Artikel ini meraih juara 2 dalam lomba Menulis Bahari Tingkat Nasional tahun 2015 kategory media on line yang diselenggarakan oleh Kementrian Pariwisata RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar