Sabtu, 27 November 2021

Kritik Masyarakat dan Moral Pejabat

*Sebuah Refleksi atas Kasus Yang Menimpah Anggota DRD Lembata*

Berita tentang oknum ADPRD Lembata tertangkap berbuat mesum dengan istri orang menarik perhatian dan menjadi perbincangan hangat di jagad maya. Ada kritik membangun, tapi banyak kritik negatif ada yang mengutuk, dan ada pula yang berusaha netral dan memberi himbauan agar warga tak boleh menghakimi tindakan oknum ADPRD.  

Tumpah ruah tanggapan terhadap periaku amoral oknum anggota DPRD Lembata, menurut hemat saya lebih banyak kritik negatif,  dan hanya sedikit yang menyampaikan kritik membangun. Kendati terkesan kasar dan tak beretika, tetapi setiap tanggapan dalam bentuk apapun, adalah ekspresi warga yang tentunya masing-masing memiliki tujuan tertentu, dan saya menangkap pesan bahwa tanggapan akan perilaku menyimpang seorang oknum pejabat adalah protes yang kuat, karena masyarakat terlanjur punya ekspektasi terhadap moral seorang pejabat publik dengan standar yang tinggi.

Bagi warga, standar moral seorang pejabat publik dan publik figur tidak boleh sama dengan rakyat kebanyakan. Jadi ada garis batas yang jelas, mana yang lumrah bagi masyarakat biasa dan apa yang tidak berlaku bagi seorang pejabat publik dan publik figur. Pejabat publik dan publik figur adalah orang-orang pilihan yang terdiri dari orang yang patuh terhadap ajaran agama, norma adat dan budaya, Pejabat Publik adalah orang yang patuh pada sumpah janji jabatan, Pejabat Publik/Publik Figur adalah orang yang patuh terhadap aturan undang-undang, Pejabat Publik/Publik Figur adalah orang yang perilakunya menjadi patron masyarakat, Pejabat Publik/Publik Figur adalah orang yang bersikap dan berkata jujur, Pejabat Publik/Publik Figur adalah orang yang berwatak pelayan masyarakat dan Pejabat Publik/Publik Figur adalah orang yang bersikap menyatukan.

Dengan demikian tidak heran, bila orang-orang pilihan melakukan perbuatan menyimpang, mendapat sorotan tajam dari warga. Tanggapan keras yang saya anggap sebagai Kontrol publik yang super ketat itu tidak saja berlaku di Lembata, kampung yang masih merias diri menjadi sebuah kota, tetapi berlaku universal. Bukan pula karena pelaku tindakan amoral itu oknum Anggota DPRD Lembata, tetapi masyarakat yang sama juga melakukan kontrol terhadap semua orang pilihan di negeri besar yang bernama indonsia.

Masih ingat tanggapan terhadap kasus almahrum Vanesa Angel? Atau kasus yang menimpa ketua DPR RI periode 2014-2019 Setnov? Perhatikan bagaimana mereka dikritik dan dihakimi saat itu. Tetapi ulasan ini tidak dimaksud untuk membenarkan penghakiman publik terhadap oknum pejabat yang melakukan tindakan menyimpang, tetapi saya ingin memandang dari kacamata yang lain, dan mungkin saja, dari kejadian itu bisa diambil hal positifnya untuk bahan pembelajaran bersama.  

Moral dan Orang Pilihan

Tentang moral pada prinsipnya mengenai garis batas, sebagai pembeda yang baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, seperti berada pada daerah yang didalamnya berisi hal-hal baik, dan tidak boleh dicemari dengan hal buruk, sampah dan kotor.

Dan publik telah menempatkan orang-orang yang berada dalam ruang atau daerah itu dengan standar moral tertentu, yang kemudian dijadikan patron. Karena itu, bila orang-orang pilihan berlaku menyimpang dari harapan publik, maka sama saja dengan orang pilihan sedang berjalan pada pada ruang tanpan batas. Saat itulah warga merasa kehilangan pegangan, dan merasa tidak ada lagi tokoh yang bisa dijadikan panutan.

Padahal kejatuhan orang pilihan pada kesalahan adalah manusiawi. Pejabat atau publik figur sekalipun adalah manusia, yang pada satu waktu bertindak baik sesuai norma dan bentuk kepatuhannya terhadap budaya dan agama, tetapi ada waktu lain dapat saja melakukan tindakan yang beraroma kebinatangan.

Perbuatan menyimpang oknum anggota DPRD Lembata yang terlanjur dianggap sebagai corong masyarakat itu,  dianggap membuat kabur garis batas dari daerah moral yang ditetapkan warga. Moral dan amoral dinilai telah dijungkir balikan. Tindakan merusak kepercayaan warga itulah sebab dari warga tak lagi menggunakan kacamata positif untuk melihatnya, tetapi ramai-ramai mengganti dengan kacamata berlensa negatif.

Hemat saya, model kontrol baru yang lebih terkesan kasar, adalah upaya warga untuk menutup gerbang bagi orang pilihan yang terpeleset jatuh pada kesalahan agar tidak menemukan cara atau taktik menyelamatkan diri, tetapi berdiri tegak, kendati dengan wajah tertunduk untuk mempertanggungjawabkan dan menanggung resiko atas kesalahan yang dilakukan. Pada saat bersamaan juga  warga memberi warning bagi orang-orang pilihan lainnya, agar tetap berada dalam daerah moral.

Jalan Pulang dan Tangan Yang Mengulur  

Memasuki ruang tanpa batas berpotensi kesesatan, karena itu sebelum jauh melangkah dan sebelum jejak-jejak moral dihapus badai, maka pulang. Pulang adalah cara terbaik untuk menemukan kembali simpati.

Untuk jalan pulang inilah seseorang dipaksa untuk mengabaikan rasa malu. Dia dituntut untuk terbuka mengakui kesalahan, dan yang paling penting adalah kerelaan diri untuk menghadapi resiko terburuk terutama saat dintuntut pertanggungjawaban atas kesalahan yang dilakukannya. Mungkin ini bukan jalan keluar terbaik, tetapi setidaknya bisa menjadi obat untuk meredam amukan amarah warga.

Begitu pula dengan warga pemberi tanggapan. Alam demokrasi menghargai kritik sebagai kontrol terhadap setiap orang kepercayaan, tetapi kritik yang benar adalah kritik membangun. Kritik membangun itu berbeda dengan kritik negatif. Kritik membangun adalah penyampaian yang bertujuan untuk memberi dukungan. Sementara kritik negatif menurut Konsultan Human Resource, Susan Ways, dalam facetofeet.com adalah bertujuan untuk merendahkan, mempermalukan dan merusak reputasi seseorang.

Bahwa, perbuatan amoral dari orang pilihan atau pejabat publik sama dengan mempermalukan diriinya sendiri, dan tentu merusak reputasinya. Saat yang sama, dia hilang pegangan dan mungkin saja dalam situasi terjepit seperti itu, bisa menambah kesesatan berpikir seseorang. Pada titik inilah, kita mesti hadir sebagai tangan untuk menariknya keluar dari kumbangan lumpur kesalahan, lalu menyiapkan bahu sebagai tempat untuk bersandar, sembari kita mendorongnya untuk siap bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukannya. Kita mungkin tidak menghendaki dia kembali pada posisinya sebagai orang pilihan, tetapi setidaknya kita berkenan membawanya kembali pada jalan yang layak untuk dilalui seorang manusia berbudaya.

Penulis : Yogi Making (Elias Kaluli Making)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar