Catatan : Ceritera
ini hanyalah sebuah khayalan penulis. Bila ada nama, tempat dan kejadian yang
sama dengan yang ada dalam ceritera ini, itu hanyalah sebuah kebetulan belaka.
Anis, menyebut nama yang satu ini bukan lagi asing di telinga warga Kadipaten Palsu. Dia di kenal cerdas berwibawa dan selalu menaruh perhatian pada setiap masalah yang menyangkut kemaslahatan masyarakat. Suatu waktu, Anis di buat gelisah, gara-gara mendapat informasi, kalau hakim di pengadilan Kadipaten Palsu telah membuat sebuah keputusan yang melukai hati pencari keadilan.
Sebagai warga yang peduli, Anis marah...namun dia bisa apa, dia hanya warga biasa. Hari-hari setelah informasi itu Anis di buat pusing, dia berpikir keras, agar mereka para penagak hukum itu tahu, kalau keputusan yang di buat sudah membuat hati rakyat terluka.
Di tengah kegelisahan itu, tiba-tiba dia mendapat ide baru. Menurutnya dia tak perlu berpikir sendiri, sebaiknya di bicarakan bersama warga lainnya, siapa tahu ada jalan keluarnya. Ide itu segera dia wujudkan. Mulailah dia mengatur rencana untuk hari pertemuan, menyampaikan undangan kepada para warga yang dia anggap peduli dengan masalah-masalah demokrasi. Soal tempat, Anis menyiapkan pondoknya yang letaknya pun tidak jauh dari kampung. Cukup luas untuk menampung lebih dari 10 orang.

Hari yang di tetapkan pun tiba. Satu-persatu warga yang diundang datang, sementara Inalila isti Anis sibuk menyiapkan minuman untuk di suguhkan dalam pertemuan itu. setelah semua yang diundang berkumpul, Anis lalu mengambil tempat paling di tengah, berdiri diantara lingkaran duduk para peserta rapat. Rapat di buka....
“Ehem...e...Selamat siang para warga sekampungku yang sempat hadir. Terimakasih karena kalian bersedia membagi waktu dengan saya, sekedar meninggalkan kesibukan pribadi dan datang memenuhi undangan. (jedah.. tarik nafas dalam). Em...Begini, mungkin kalian bertanya-tanya, koq tiba-tiba saja saya mengajak kalian datang ke pondok ini. Tetapi saya percaya kalau kehadiran kalian bukan tuk sekedar memenuhi rasa ingin tahu, namun lebih dari itu, kehadiran kalian merupakan bentuk penduli terhadap hal penting yang akan kita diskusikan nanti. Ee..e, begini saudara-saudara, kita yang hadir disini adalah warga biasa, bukan pejabat pemerintah di desa ini. Tapi tidak berarti bahwa walau hanya sebagai warga biasa kita tak berhak berbicara mengenai kampung dan kepentingan warga di kadipaten palsu ini secara lebih luas. Dasar pertimbangan itulah saya berinisiatif untuk ajak semua kita untuk berdiskusi di pondok ini, pada hari ini,”
Sengaja di awal rapat itu, Anis tidak membongkar agenda penting yang bakal mereka diskusikan. B
“Em...kawan-kawan yang budiman, untuk di ketahui bahwa dalam beberapa hari belakangan ini rasa hati saya tak nyaman. Mengamati perjalanan demokrasi di Kadipaten kita yang semakin menggelisahkan ini, dan kegelisahan itu haruslah saya tularkan kepada sesama warga, setidaknya itu akan menjadi sebuah perhatian bersama. Nah...em...ee...saya langsung ke titik masalahnya. e..begini, semua kita pasti sudah dengar bahwa ada Anggota Dewan Pertimbangan Kadipaten (DPK) kita di vonis penjara. Oleh Hakim, mereka di tuduh memalsukan dokumen pemakzulan Bupati. Proses hukum itu sangat menyita waktu dan perhatian, tapi bukan lama atau cepatnya sebuah sidang pengadilan, karena yang kita butuh adalah proses hukum jalan dengan benar. Dan sepanjang pengamatan saya di sidang pengadilan itu, nyaris tidak ada fakta yang terungkap untuk memberatkan anggota DPK kita. Pendapat ahli yang di sampaikan dalam sidang pengadilan itu mengatakan, proses hukum terhadap anggota DPK salah kamar. Anggota DPK itu sedang melaksanakan apa yang menjadi tugas mereka. (jedah..Anis berpaling menatap ke sekeliling peserta rapat). Jika salah, mestinya di proses institusi DPK, bukan di bawah masuk ke ranah hukum.
“Kesaksian para saksi juga alat bukti, menguatkan wakil rakyat itu. Coba kawan-kawan bayangkan, sidang tuduhan pemalsuan dokumen, namun dokumen yang di duga di palsukan tidak di pegang penegak hukum. Yang di hadirkan adalah dokumen lain, em...yang saya duga adalah dokumen palsu. Karena ada banyak janggal di situ, letak cap beda, tidak ada paraf viat, dan banyak lagi. Kejanggalan-kejanggalan yang semestinya menguatkan terdakwa itu justru tidak di perhatikan. Malah dalam keputusan, hakim mengarang keterangan yang tidak pernah terungkap dalam sidang. Hakim lebih condong berpihak kepada Bupati, bukan pada kebenaran. Jelas sekali kalau dalam proses itu adalah sebuah proses yang di rekayasa. (jedah...Anis tertunduk, tarik nafas dalam, seakan menunjukan kegilsaan yang teramat dalam). Dan lebih aneh lagi, bahwa ketika keputusan yang bukan keputusan itu di jatuhkan. Kita seolah menerima, kita pasrah dan seakan membiarkan saudara sekandung kita itu di hukum oleh orang-orang penghianat bangsa. Mereka mungkin saja di kirim penguasa luar untuk hadir ke kampung kita, ke tanah Kadipaten ini untuk merusak seluruh tatanan yang kita bangun sejak jaman leluhur. Saya sedih.... kita seakan menghantar saudara kandung kita untuk di penggal persis di leher, dan darah mereka di biarkan menghambur membasahi tanah tempat lahir nenek moyang kita. Kampung ini...kampung ini, kehidupan di kampung ini tak lagi sama seperti ceritera dulu. Dimana-mana, di setiap sudut kampung ini saya mendapati senyum dalam simpul miris. Tatapan mata rakyatku penuh ketakutan. Ketika itu, saya selalu di tikam oleh perasaan sendiri. Ah...bangsat, keparat!!, mereka tak layak mengekang semua kebebasan. Saya tidak mau generasi ini tumbuh dalam kebisuan.
Anis seakan terpekur kaku...matanya melirik ke semua peserta rapat. Lalu dengan nada yang masih berwibawa dia melanjutkan kalimatnya.
“Saya bukan mau mengajak kita untuk membela yang salah. Yah...kalau anggota DPK itu salah, melanggar hukum mereka harus di adili, di hukum sesuai kesalahan, namun jangan yang benar di buat salah, dan salah dibuat benar. Palsu di buat asli, asli di bilang palsu. Yah... Harus bicara...sekarang saat yang tepat untuk rakyat bersuara. Saudaraku, katakan sesuatu dalam rapat ini, agar bersama kita menemukan jalan keluarnya.
Suasana hening, terlihat banyak diantara warga yang hadir dalam rapat itu, mengkerutkan dahi..mereka terbawa dalam penjelasan Anis. Tergambar kalau, warga tak suka dengan model penegakan hukum tak tidak berpihak pada keadilan, dan kebenaran. Dari penjelasan awal itu, mereka paham kalau Anis sang pengamat demokrasi lokal ini gelisah, mereka juga sadar kalau masalah yang di ungkap adalah masalah serius dan harusnya menjadi masalah bersama. Bukan hanya menjadi masalah kelompok, atau pribadi orang-perorang. Dan di tengah kecemasan bersama itu, seseorang menunjuk jari pertanda meminta waktu untuk bicara.

“Ijin bicara pak Anis,” kata seoarang peserta. “yah..silahkan, pak” jawab Anis. “Begini...kalau saya tidak terima pak. Itu para hakim di negara Antaberanta ini sudah tidak beres pak. Banyak yang masuk angin, begitu... e, begini pak..., Kemarin saya nonton tivi, ada berita begitu...eh...begini beritanya, bahwa seorang hakim di kadipaten tetangga kedapatan jual pasal, dan dia tertangkap bersama beberapa orang pembantunya. Cara itu sudah menular sampai ke semua daerah termasuk ke daerah kita Kadipaten Palsu ini. Permainan kotor, begitu..kita harus melawan pak..begitu..apapun caranya kita harus lawan agar mereka para penjahat hukum itu tau kalau kita marah,” kata peserta itu.
“Pak Anis saya mau kasi pendapat sedikit, boleh kah?” sambung peserta lainnya yang duduk di pojok pondok. “oh...ya boleh, silahkan...” jawab Anis memberi waktu.
“Em, eh...begini kawan-kawan. Saya mau tanggapi teman pembicara sebelumnya. Tapi saya minta maaf kalau apa yang mau saya omong ini salah..a..begini. saya ini tidak sekolah, jadi mengertinya setengah saja...a, em....begini, pasal itu makanan apa? Apakah hanya bisa di makan oleh pejabat?, kenapa tidak bagi-bagi pasal itu ke kita rakyat ini supaya kita bisa makan sama-sama. Itu hari mereka bilang hukum itu adil, eh...tai kucing, adil apa. Adil koq makan pasal sendiri. Saya usul eee... kita kumpul uang lalu beli saja, kalau mereka tidak mau jual pasa itu ke kita, pak Anis kami kumpul uang untuk pak Anis naik kapal ke tempat lain, beli pasal di sana, bawa pulang ke kampung ini, supaya mereka yang bilang hakim itu, tau kalau kita juga bisa beli sendiri. Mereka itu apa, sehingga mereka seenaknya jual beli pasal ke pejabat? Eh...saya kasih tau kamu semua e....Pejabat beli pasal itu, pakai uang kita, uang yang harusnya untuk buat kita punya jalan ini. Biar kita semua tau...pejabat, pejabat apa mereka...saya begini-begini kemarin jual kambing, jadi saya punya uang dari keringat saya sendiri,” protes seorang peserta yang duduk di pojok pondok...
Gara-gara pendapat nyeleneh salah satu perseta, pondok yang biasanya sepi tiba-tiba ramai dengan tawa. Sambutan beda dari peserta membuat sang pemberi usul kikuk. Dia seakan sadar kalau hal yang di bicarakan salah. Anis tau, sumber daya warga kampungnya sangat terbatas, banyak yang tidak sekolah. Mereka petani, murni petani, bergaulpun hanya sebatas kampung. Anis sadar jika di biarkan, suasana rapat bisa kacau, tak dan mungkin menemui keputusan, karena itu dia menyelah.
“Ssssssssst. Kawan-kawan tenang dulu. Kita hargai pendapat dia. Em...sebelum yang lainnya berpendapat, saya minta waktu untuk mengklarifikasi usul dari kawan yang terakir ini,” Tanpa perlu mendapat jawaban, Anis lalu melanjutkan pernyataannya.
“Mungkin kawan kita yang satu ini tidak paham arti dari penjualan pasal, tetapi begini apa yang dia sampaikan saya mengerti dan perlu saya jelaskan kepada kita semua biar lebih jelas. Menurut saya ide yang dia (sambil menunjuk ke pojok pondok tempat pengusul duduk) sampaikan, menarik. Dari usul itu saya dapat ide begini...bagaimana kalau kita seruhkan dari kampung ini, agar semua warga biasa yang peduli dengan penegakan keadilan beri sumbangan berupa uang seadanya. Lalu kita antar ke kantor para penegak hukum itu. Nanti kita sampaikan, bahwa ini uang untuk mereka pakai buat penuhi kebutuhan hidup mereka.Jangan lagi mereka menerima uang dari yang bukan hak mereka. Kita peduli pada mereka yang kaya itu, namun bernurani kerpos. Dengan menyumbang sedikit uang merupakan pesan bahwa kita tak suka dengan kerja kotor mereka. Tindakan mereka yang suka jual beli pasal itu, merusak tatanan demokrasi, menghancurkan moral bangsa, dan membunuh semua niat baik orang hendak berjuang untuk kepentingan rakyat. Jika kalian berkenan, maka itu menjadi keputusan kita dan kita jalankan bersama, bagaimana?” tanya Anis menanti jawaban peserta rapat.
Tampak beberapa peserta menganggukan kepala, dan beberapa yang lainnya mengatakan...”saya setuju, iya bagus idenya itu,” namun ada pula yang lebih eksrim. “Ah...untuk apa sumbangan itu, apakah tidak cukup dengan gaji, menurut saya kita datangi saja kantor itu, lalu bakar...musnakan semua bandit hukum itu. Toh mereka itu biadab, bukan orang asli, mereka datang dengan misi menghacurkan kampung ini, kita hancurkan saja. Bakar kantornya, habisi saja mereka,” kata perseta lainnya dengan emosi yang meluap-luap.
“Sabar...sabar dulu kawan,” timpal Anis menenangkan. “saya tau kalian marah. Tapi kemarahan harus kita ungkapkan dengan cara cerdas. Kita tak sekolah, kita bukan ahli hukum, tapi kita adalah orang-orang yang membuat mereka hadir, kalaupun sumberdaya kita di bilang lemah, tapi kita harus lebih cerdik dari mereka. Harus kita tunjukan kepada mereka para bangsat berdasi itu, bahwa kami lebih paham hukum, kami cinta kedamaian, kami mengedepankan nilai moral. Menurut saya kita jangan ekstrim menanggapi mereka, mereka adalah orang-orang bodok yang sedang jatuh kedalam lumpur, mari kita kumpul sedikit dari apa yang kita punya lalu sumbangkan kepada mereka. Cara itu adalah cara pintar, untuk mengangkat mereka dari lumpur, barangkali saja, uang hasil sumbangan itu, bisa mereka belikan sabun, untuk mencuci seluruh tubuh mereka yang kotor, pakaian mereka yang beraroma amis darah anak negeri ini. Tak perlu kita usir mereka dengan kasar, sampaikan dengan santun, biar mereka tau kalau kita marah. Karena kesabaran kita semakin tipis, dan akan pecah, bila terus di beri beban kemarahan,” ujar Anis menenangkan dan memberi pengertian, agar awarganya tak bertindak gegabah.
Kata penuh wibawa yang di utarakan, berhasil membuat rekan-rekan yang sebelumnya marah menjadi tenang, sepuluh warga peserta rapat di pondok Anis itu akhirnya bersepakat untuk menjadi relawan, siap berjalan dari kampung-ke kampung mengajak siapa saja warga peduli keadilan dan kebenaran untuk ikut berpartisapasi memberi sumbangan.
Wangatoa, 28 April 2016
(Yogi Making)
Klu bgtu kita buat sj itu di kabupaten lembata to!! Kasusx mirip dan serupa. Mari brbt ssuatu utk lewo tanah kita.
BalasHapushehehe...mungkin saja mirip, tapi ini hanya sebuah fiksi yang ditulis sesuai hayalan penulis....
Hapus