Kamis, 04 Oktober 2018

Jejak Toleransi Dari Lembata



Perbedaaan Membuat kami semakin kuat, Foto : Yogi Making
Wulandoni, Yogi M-
Pulau Lomblen memiliki beberapa nama alias. Dalam peta buatan Belanda tahun 1919 Lomblen atau sekarang populer dengan sebutan Pulau Lembata, dikenal dengan  nama pulau Kawula, Lomblen merupakan sebuah gugusan Kepulauan Solor, yang secara geografis terletak diantara Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Alor, Propinsi NTT.

Pulau lomblen terletak diposisi, 8°10′–8°11′ LS dan 123°12 –123°57′ BT, dengan batas-­batas sebelah utara dengan Laut Flores, Selatan dengan Laut Sawu,  Timur  dengan Selat Alor, barat dengan Selat Lamakera dan selat boleng.

Dari sisi administrasi, sejak tahun 1958 Lembata merupakan bagian dari Kabupaten Flores Timur, namun berdasarkan Undang­ Undang Nomor, 52 Tahun 1999 Pulau Lomblen resmi berdiri menjadi sebuah kabupaten dengan nama Kabupaten Lembata,
dengan luas wilayah 1266,48 km² atau 126.648 Ha.

Bedasarkan data statistik tahun 2010 pulau  Lomblen duhuni  oleh 121. 12 jiwa, yang tersebar di 7 ( Sekarang  9)  kelurahan dan 144 (sekarang 151) desa. Walau masing-­masing etnis memiliki bahasa daerah, namun  orang  Lembata  bersepakat untuk menjadikan bahasa lamaholot sebagai alat komunikasi antar etnis.

Penduduk Kabupaten Lembata terdiri dari penduduk asli maupun pendatang. Penduduk asli terdiri dari dua etnis yaitu etnis Lamaholot dan etnis Kedang.

Etnis Kedang mendiami wilayah Kecamatan Omesuri dan Kecamatan  Buyasuri. Sedangkan etnis Lamaholot mendiami wilayah Kecamatan Ile Ape,  kecamatan  Ile Ape Timur, Kecamatan Nagawutun, Kecamatan Wulandoni,  Kecamatan Atadei, Kecamatan  Nubatukan dan Kecamatan Lebatukan.

Katolik­ Islam

Pulau kecil dengan luas lautan 3.353,895 ini, sejak dahulu sudah membagi penduduknya kedalam dua
kepercayaan Agama,  sebagian besar memegang teguh agama Katolik, atau dalam sebutan lamaholotnya sebagai orang kiwanen (masyarakat pedalaman-­red). Sedang yang beragama Islam disebut watanen (masyarakat pesisir-­red). Masyarakat di pulau kawula ini, selalu memandang perbedaan iman kepercayaan sebagai hal lumrah. Katolik dan Islam sejak dulu hidup berdampingan Data Kementrian Agama Kabupaten Lembata, pemeluk Agama di Lembata tahun 2012, dari Total 124.736 penduduk Lembata, jumlah pemeluk agama Katholik, 87.271, Islam  35.469.  Kristen 1.920, hindu 73, Budha 3.

Kami Menyatu di Pasar Barter Wulandoni Foto : Yogi Making
Keadaan seperti ini dengan mudah dijumpai pada hampir semua wilayah di pulau Lembata. Di Kecamatan Wulandoni misalnya, kita dengan mudah menyaksikan inter­aksisosial antar dua kelompok masyarakat dengan latar belakang agama yang berbeda,  kelompok muslim berbaur erat dengan saudara­-saudara mereka dari  kalangan katolik.

Kehidupan masyarakat di  kecamatan Wulandoni ini sesungguhnya sedang menggambarkan bagaimana  dulu ketika pertama
kali masyarakat mulai  menganut ajaran Tuhan, sudah hidup berdampingan.

Sejarah mencatat, awal mula Gereja Katolik berdiri di Lembata pertama kali tahun 1886 atau 127 tahun silam bersamaan Dengan datangnya seorang Biarawan Katolik berkebangsaan Belanda, Pater Bernard Bode SVD. Masuknya Agama Katolik jauh sebelum orang Lebala mengenal islam, Tokoh muslim Lebala Sujudin Mayeli menuturkan, Agama Islam baru dibawah masuk oleh 
raja Ibarahim Mayeli tahun 1926, atau empat puluh tahun setelah Pastor Bode berkarya di Lembata.

“Dimasa penyebaran agama, Pater Bode datang dari Lamalera bertemu raja Lebala, niatnya untuk membangun gereja disini, tapi raja tidak mau. Tetapi saat gereja lamalera dibangun, raja mengutus salah satu orang kerajaan untuk ikut rapat disana. Jadi kami disini sudah hidup berdampingan sejak dulu,” ujar Sujudin Mayeli, ketika di Jumpai dalam sebuah kesempatan di Lebala belum lama 
ini.

Masyakat yang di tanah Lepan Batan sejak dulu hidup rukun. Terbukti, sejak masa penyebaran agama hingga sekarang, tidak pernah terjadi gesekan antar masyarakat. raja Lebala bahkan sangat menghargai perbedaan.

“Masyarakat saat itu sangat takut dengan raja,apapun 
yang diperintah pasti mereka ikut, tetapi terbukti Islam hanya berkembang di Lebala, sedang kampung lainnya yang masuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Lebala, masyarakatnya menganut ajaran Katolik,”
 ujar Mayeli.

Penuturan Sujudin tak beda dengan catatan harian Bapa Bode, demikian sapaan akrab masyarakat Lamalera kepada pastor Belanda ini, sebagaimana di kutip dari buku 125 tahun Gereja Katolik Lamalera.

Dalam catatan itu bapa Bode munulis,“tanggal 14 Agustus 1943 di Labala tidak mendapat hasil apa­apa. Banyak orang dikampung­kampung takut dengan raja Labala. Di Atawolo 2 anak dari keluarga Paulus Nara dipermandikan,”

Catatan ini menunjukan niat Bapa Bode untuk “Mengkatolikan” orang Lebala yang sesungguhnya sudah menga nut agama Islam. Walau menolak keinginan sang penyebar Katolik, Bapa Bode  disambut dan diperlakukan secara santun di Lebala.

Pasar Barter

Menyempitnya kran toleransi disebahagaian besar negeri ini, ternyata tidak berlaku di  Kabupaten Lembata, agama bagi anak lepan batan (Lembata) hanyalah urusan manusia dengan Penciptanya, Alam menjalankan akfitas keseharian orang Lembata tidak membatasi diri dengan agama yang dianutnya.

Kenyataan seperti ini bisa dijumpai dihampir semua wilayah Lembata, dan Pasar Wulandoni
menjadi bukti  pembauran orang  kiwanen dan watenen. Walau masyarakatLembata sudah mengenal uang sejak lama, namun di pasar wulandoni transaksi jual beli dengan cara bater.

Menariknya, hasil kebun masyarakat pedalaman (penganut agama katolik)  berupa, padi, jagung, buah­-buahan, dan sayuran ditukar dengan hasil laut masyarakat pesisir yang mayoritas beragama muslim.

Aktivitas pertukaran di Pasar Barter Wulandoni
Foto Yogi Making
Di pasar ini, orang watenen membuat janji dengan orang kiwanen. Hubungan pertemanan antar dua penganut  faham berbeda ini disebut dengan “breung” (teman­red). Sebagai sahabat mereka saling membuat janji, untuk bertemu kembali pada hari pasar berikutnya, dengan membawa barang pesanan 
breung masing­masing.

Sebagai misal, jika seorang kiwanen membutuhkan garam, maka dia akan menjalin breung  dengan orang watenen yang biasa membuat garam, dan sebaliknyaorang watanen. Jika yang dibutuhkannya 
adalah padi, maka dia membuat janji dengan
 sahabatnya yang orang kiwanen  untuk bertemu kembali
 di pasar yang sama  untuk saling melakukan barter.

“Barang yang kami bawa ini, selain ditukar dengan uang, kami juga tukar dengan barang­barang. Uang kami  pakai untuk kebutuhan membiayai sekolah anak, barang kami tukar  ini untuk kebutuhan makan sehari­hari,” kata Ijah, warga muslim dari kampung Lebala.

Pembauran antar umat beragama ini,  dapat juga dilihat pada wilayah­wilayah lain di Lembata. floresbangkit.com  belum lama ini, merilis berita tentang keterlibatan warga katolik di Kecamatan 
Ile Ape dalam kegiatan warga  muslim. Warga katolik, bahkan ikut dalam pementasan qasidah. Sebuah kenyataan yang mungkin tak mudah dijumpai dalam wilayah lain di Indonesia.

Bagi  masyarakat di Kecamatan Wulandoni dan orang Lembata umumnya,  keterikatan antar Kiwanen dan  Watanen sudah terjalin sejak beberapa generasi sebelumnya, dan tidak mudah
untuk dilepas. Sebuah hal positif yang patut dicatat dan dilestarikan dalam kehidupan berbangsa di  jaman ini.

Kiwanen dan Watenen

Kiwanen dan Watenen adalah sebutan orang Lamaholot kepada dua penganut agama
besar di Kabupaten Lembata. Kiwan berarti gunung, jika ditambah akhiran “en”
kata kiwan akan berubah arti menjadi orang gunung atau orang pedalaman. Sedang Watan atau watanen merupakan kebalikan dari  kiwan atau kiwanen. Dalam bahasa lamaholot,  sebutan kiwanen dan watanen merupakan istilah atau
 sebutan bagi kaum penganut ajaran agama Katolik dan Islam.

Kiwanen adalah sebutan bagi kaum penganut ajaran Katolik, hal ini dikerenakan orang katolik rata­rata berdomisilidi wilayah pedalaman, atau biasanya pada kampung­kampung tertentu masyarakat 
katolik memilih tinggal sedikit menjauh dari pesisir pantai.
Prasasti Ina Ata Jawa
 bukti kejayaan masa lalu Kerajaan Labala
Foto : Yogi Making
Pilihan tempat tinggal bagi masyarakat penganut agama katolik ini, di pandang cocok karena 
kebanyak orang Katolik bermata pencharian
 sebagai petani. Hal ini berbanding terbalik dengan 
masyarakat penganut ajaran muslim. Rata­rata penganut muslim di Lembata memilih tinggal di 
pesisir pantai, kerana muslim Lembata melekat dengan mata pencharian nelayan.

Sumber sejarahwan mengatakan istilah watanen dan kiwanen mulai dikenal sejak dua  agama besar ini masuk di Lembata.

“Ada istilah Solor Watan Lema (Solor lima pantai­red) merupakan sebutan bagi komunitas kerajaan  muslim  yang bernaung dibawah raja Larantuka,”
kata sejarahwan Lebala, Sujudin Mayeli.

Kerajaan yang tergabung dalam komunitas Solor Watan Lema, adalah adalah, Kerajaan Lohayong, 
Kerajaan Terong, Kerajaan Lamahala, 
kerajaan Lamakera, empat kerajaan 
ini sekarang berada dalam wilayah administrasi Kepemerintahan kabupaten Flores Timur, dan satu­satunya kerajaan di Lembata sebagai sebuah kerajaan Islam, adalah
Kerajaan Lebala. Untuk di ketahui, penduduk di daerah bekas kerajaan Islam ini, hingga sekarang tetap memeluk ajaran Islam  (Yogi Making)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar