Perbedaaan Membuat kami semakin kuat, Foto : Yogi Making |
Wulandoni, Yogi M-
Pulau Lomblen memiliki beberapa nama alias. Dalam peta buatan Belanda tahun 1919 Lomblen atau sekarang populer dengan sebutan Pulau Lembata, dikenal dengan nama pulau Kawula, Lomblen merupakan sebuah gugusan Kepulauan Solor, yang secara geografis terletak diantara Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Alor, Propinsi NTT.
Pulau Lomblen memiliki beberapa nama alias. Dalam peta buatan Belanda tahun 1919 Lomblen atau sekarang populer dengan sebutan Pulau Lembata, dikenal dengan nama pulau Kawula, Lomblen merupakan sebuah gugusan Kepulauan Solor, yang secara geografis terletak diantara Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Alor, Propinsi NTT.
Pulau lomblen terletak diposisi, 8°10′–8°11′ LS
dan 123°12 –123°57′ BT, dengan batas-batas sebelah utara dengan Laut Flores, Selatan dengan Laut Sawu, Timur
dengan Selat Alor, barat dengan Selat Lamakera
dan selat boleng.
Dari sisi administrasi, sejak tahun 1958 Lembata merupakan
bagian dari Kabupaten Flores Timur, namun berdasarkan Undang Undang Nomor,
52 Tahun 1999 Pulau Lomblen resmi berdiri menjadi sebuah kabupaten dengan nama
Kabupaten Lembata,
dengan luas wilayah
1266,48 km² atau 126.648 Ha.
Bedasarkan data statistik tahun 2010 pulau Lomblen duhuni oleh 121. 12 jiwa,
yang tersebar di 7 ( Sekarang 9) kelurahan dan 144 (sekarang 151) desa.
Walau masing-masing etnis memiliki bahasa daerah, namun orang Lembata bersepakat untuk menjadikan bahasa
lamaholot sebagai alat komunikasi antar etnis.
Penduduk Kabupaten Lembata terdiri dari penduduk asli maupun pendatang.
Penduduk asli terdiri dari dua etnis yaitu etnis Lamaholot dan etnis Kedang.
Etnis Kedang mendiami wilayah Kecamatan
Omesuri dan Kecamatan Buyasuri. Sedangkan etnis Lamaholot mendiami
wilayah Kecamatan Ile Ape, kecamatan Ile
Ape Timur, Kecamatan Nagawutun, Kecamatan Wulandoni, Kecamatan Atadei,
Kecamatan Nubatukan dan Kecamatan Lebatukan.
Katolik Islam
Pulau kecil dengan luas lautan 3.353,895
ini, sejak dahulu sudah membagi
penduduknya kedalam dua
kepercayaan
Agama, sebagian besar memegang teguh agama Katolik, atau dalam sebutan lamaholotnya sebagai orang kiwanen (masyarakat pedalaman-red). Sedang yang
beragama Islam disebut watanen (masyarakat pesisir-red). Masyarakat di pulau kawula ini, selalu
memandang perbedaan iman kepercayaan sebagai hal lumrah. Katolik dan Islam sejak
dulu hidup berdampingan Data Kementrian Agama Kabupaten
Lembata, pemeluk Agama di Lembata tahun 2012, dari Total 124.736 penduduk
Lembata, jumlah pemeluk agama Katholik,
87.271, Islam 35.469. Kristen 1.920, hindu
73, Budha 3.
Kami Menyatu di Pasar Barter Wulandoni Foto : Yogi Making |
Keadaan seperti ini dengan mudah dijumpai pada hampir semua wilayah di
pulau Lembata. Di Kecamatan Wulandoni misalnya, kita dengan mudah menyaksikan interaksisosial antar dua kelompok masyarakat
dengan latar belakang agama yang berbeda, kelompok muslim berbaur erat dengan saudara-saudara mereka dari kalangan katolik.
Kehidupan masyarakat di kecamatan Wulandoni ini sesungguhnya sedang menggambarkan bagaimana dulu ketika pertama
Kehidupan masyarakat di kecamatan Wulandoni ini sesungguhnya sedang menggambarkan bagaimana dulu ketika pertama
kali masyarakat mulai menganut
ajaran Tuhan, sudah hidup berdampingan.
Sejarah mencatat, awal mula Gereja Katolik berdiri di Lembata pertama kali tahun 1886 atau 127 tahun silam bersamaan Dengan datangnya seorang Biarawan Katolik berkebangsaan
Belanda, Pater Bernard Bode SVD. Masuknya Agama Katolik jauh sebelum orang Lebala mengenal islam,
Tokoh muslim Lebala Sujudin Mayeli menuturkan, Agama Islam baru dibawah masuk oleh
raja Ibarahim Mayeli
tahun 1926, atau empat puluh tahun setelah Pastor Bode berkarya di Lembata.
“Dimasa penyebaran agama, Pater Bode datang dari Lamalera bertemu raja Lebala,
niatnya untuk membangun gereja disini,
tapi raja tidak mau. Tetapi saat gereja
lamalera dibangun, raja mengutus salah satu orang kerajaan
untuk ikut rapat
disana. Jadi kami disini sudah hidup berdampingan sejak dulu,” ujar Sujudin
Mayeli, ketika di Jumpai dalam sebuah
kesempatan di Lebala belum lama
ini.
Masyakat yang di tanah Lepan Batan sejak
dulu hidup rukun. Terbukti, sejak masa penyebaran agama hingga sekarang, tidak
pernah terjadi gesekan antar masyarakat.
raja Lebala bahkan sangat menghargai perbedaan.
“Masyarakat saat itu sangat takut dengan
raja,apapun
yang diperintah pasti mereka ikut, tetapi
terbukti Islam hanya berkembang di Lebala, sedang kampung lainnya yang masuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Lebala,
masyarakatnya menganut ajaran Katolik,”
ujar Mayeli.
Penuturan Sujudin tak beda dengan
catatan harian Bapa Bode, demikian
sapaan akrab masyarakat Lamalera kepada pastor Belanda ini, sebagaimana di kutip dari buku 125 tahun Gereja Katolik
Lamalera.
Dalam catatan itu bapa Bode
munulis,“tanggal 14 Agustus 1943 di Labala tidak mendapat hasil apaapa.
Banyak orang dikampungkampung takut dengan raja Labala. Di Atawolo 2 anak dari keluarga Paulus Nara dipermandikan,”
Catatan ini menunjukan niat Bapa Bode
untuk “Mengkatolikan” orang Lebala yang sesungguhnya sudah
menga nut agama Islam. Walau menolak keinginan sang
penyebar Katolik, Bapa Bode disambut dan diperlakukan secara santun di Lebala.
Pasar Barter
Menyempitnya kran toleransi
disebahagaian besar negeri ini, ternyata tidak berlaku di Kabupaten Lembata, agama bagi anak lepan batan (Lembata) hanyalah
urusan manusia dengan Penciptanya, Alam menjalankan akfitas keseharian orang Lembata tidak membatasi diri
dengan agama yang dianutnya.
Kenyataan seperti ini bisa dijumpai
dihampir semua wilayah Lembata, dan
Pasar Wulandoni
menjadi bukti pembauran orang kiwanen dan watenen. Walau
masyarakatLembata sudah mengenal
uang sejak lama, namun di pasar wulandoni transaksi jual beli dengan cara bater.
Menariknya, hasil kebun masyarakat
pedalaman (penganut agama katolik) berupa, padi, jagung, buah-buahan, dan sayuran ditukar dengan hasil laut
masyarakat pesisir yang mayoritas beragama muslim.
Aktivitas pertukaran di Pasar Barter Wulandoni Foto Yogi Making |
Di pasar ini,
orang watenen membuat janji dengan orang kiwanen. Hubungan
pertemanan antar dua penganut faham berbeda ini disebut dengan “breung”
(temanred). Sebagai sahabat mereka saling membuat janji, untuk bertemu
kembali pada hari pasar berikutnya, dengan membawa barang pesanan
breung
masingmasing.
Sebagai misal, jika seorang kiwanen
membutuhkan garam, maka dia akan menjalin breung dengan orang watenen
yang biasa membuat garam, dan
sebaliknyaorang watanen. Jika yang dibutuhkannya
adalah padi, maka dia membuat janji dengan
sahabatnya yang orang kiwanen untuk bertemu kembali
di
pasar yang sama untuk saling melakukan
barter.
“Barang yang kami bawa ini, selain ditukar
dengan uang, kami juga tukar dengan barangbarang. Uang
kami pakai untuk
kebutuhan membiayai sekolah anak, barang kami tukar
ini untuk kebutuhan makan seharihari,” kata Ijah, warga
muslim dari kampung Lebala.
Pembauran antar umat beragama ini,
dapat juga dilihat pada wilayahwilayah lain
di Lembata. floresbangkit.com belum lama
ini, merilis berita tentang keterlibatan warga katolik di Kecamatan
Ile Ape dalam
kegiatan warga muslim. Warga katolik,
bahkan ikut dalam pementasan qasidah.
Sebuah kenyataan yang mungkin tak mudah dijumpai dalam wilayah lain di
Indonesia.
Bagi masyarakat di Kecamatan Wulandoni
dan orang Lembata umumnya, keterikatan antar Kiwanen dan Watanen sudah terjalin
sejak beberapa generasi sebelumnya, dan tidak mudah
untuk dilepas. Sebuah hal
positif yang patut dicatat dan dilestarikan dalam kehidupan berbangsa di jaman ini.
Kiwanen dan Watenen
Kiwanen dan Watenen adalah sebutan
orang Lamaholot kepada dua penganut agama
besar di Kabupaten Lembata. Kiwan berarti gunung, jika ditambah akhiran “en”
kata kiwan akan berubah arti
menjadi orang gunung atau orang pedalaman. Sedang Watan atau watanen merupakan
kebalikan dari kiwan atau kiwanen. Dalam
bahasa lamaholot, sebutan kiwanen dan
watanen merupakan istilah atau
sebutan
bagi kaum penganut ajaran agama Katolik dan Islam.
Kiwanen adalah sebutan bagi kaum
penganut ajaran Katolik, hal ini dikerenakan orang katolik ratarata
berdomisilidi wilayah pedalaman, atau
biasanya pada kampungkampung tertentu
masyarakat
katolik memilih tinggal sedikit
menjauh dari pesisir pantai.
Prasasti Ina Ata Jawa bukti kejayaan masa lalu Kerajaan Labala Foto : Yogi Making |
Pilihan tempat tinggal bagi masyarakat
penganut agama katolik ini, di pandang cocok karena
kebanyak orang Katolik bermata pencharian
sebagai petani. Hal ini
berbanding terbalik dengan
masyarakat penganut ajaran muslim. Ratarata
penganut muslim di Lembata memilih
tinggal di
pesisir pantai, kerana muslim Lembata melekat dengan mata pencharian
nelayan.
Sumber sejarahwan mengatakan istilah
watanen dan kiwanen mulai dikenal sejak dua agama besar ini
masuk di Lembata.
“Ada istilah Solor Watan Lema (Solor lima
pantaired) merupakan sebutan bagi komunitas kerajaan
muslim yang bernaung
dibawah raja Larantuka,”
kata sejarahwan
Lebala, Sujudin Mayeli.
Kerajaan yang tergabung dalam komunitas
Solor Watan Lema, adalah adalah, Kerajaan Lohayong,
Kerajaan Terong, Kerajaan Lamahala,
kerajaan Lamakera, empat kerajaan
ini sekarang berada dalam
wilayah administrasi Kepemerintahan kabupaten Flores Timur, dan satusatunya
kerajaan di Lembata sebagai sebuah
kerajaan Islam, adalah
Kerajaan Lebala.
Untuk di ketahui, penduduk di daerah
bekas kerajaan Islam ini, hingga sekarang
tetap memeluk ajaran Islam (Yogi Making)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar