menguras kenyamanan fisik.
Sebuah perjalanan yang mencerminkan
betapa masih belum meratanya
akses jalan yang baik untuk desadesa terpencil
Setidaknya itu yang saya alami pada
Jumat
(12/7/2013).
Akibat kondisi jalan yang buruk, sehingga perjalanan dari Lewoleba,
(Ibukota Kabupaten Lembata) menuju kampung Lebala, jika menggunakan kendaraan sepeda motor bisa memakan waktu
sekitar 3 jam. Setelah melewati berbagai rintangan, akhirnya sekitar pukul 6.30 petang kami iba di Kampung Lebala atau dikenal juga dengan Desa Lewo Raja. Lebala terletak di kecamatan
Wulandoni, Kabupaten Lembata.
(Ibukota Kabupaten Lembata) menuju kampung Lebala, jika menggunakan kendaraan sepeda motor bisa memakan waktu
sekitar 3 jam. Setelah melewati berbagai rintangan, akhirnya sekitar pukul 6.30 petang kami iba di Kampung Lebala atau dikenal juga dengan Desa Lewo Raja. Lebala terletak di kecamatan
Wulandoni, Kabupaten Lembata.
Gemuruh ombak laut
selatan terdengar membahana seakan menyambut kedatangan kami. Bagian
utara kampung ini, di bentengi tebing tinggi
menjulang. Pemukiman kampung di ujung pesisir selatan Pulau Lomblen itu
, tertata apik Rumahrumah penduduk ditata tepat di
pesisir pantai.
Wajahwajah bersahaja dan
lembut menyapa kami yang berjalan
menenteng kamera dan tas ransel di pundak. Suara Azan dari Langgar dan surau kecil di tepi jalan menuju Desa Lewo Raja
sungguh menggambarkan, kami sedang berada di kampung Islam, serambi Mekkah
NTT dari Lembata. Dari Desa Leworaja, bekas Kerajaan Lebala
inilah, orang Lembata mengenal agama Islam
yang menyebar
hingga saat ini.
Bekas
Kerajaan Lebala inipun dijuluki “Serambi Mekkah NTT”. Meski Jumlah penduduk di Lembata
kebanyakan Katolik, namun Islam di embata semakin hari semakinberkembang dalam nuansa damai,
berdampingan dengan umat beragama lain.
Kepala Kementrian Agama Kabupaten
Lembata, Dorothia Nahak, Minggu (14/7/2013) menjelaskan data pemeluk Agama di
Lembata Tahun
2012,dari Total 124.736 penduduk Lembata, jumlah pemeluk agama Katholik, 87.271, Islam
35.469. Kristen
1.920, Hindu 73, Budha 3.
“Meski Lebala memulai penyebaran agama
Islam namun Kantong Muslim di Lembata terbanyak di wilayah Kedang, Nubatukan
dan paling sedikit di Kecamatan
Wulandoni,” ujar Nahak.
Dari Pedagang Terong dan Lamahala
Kampung Lebala pada jaman sebelum penjajahan, berbentuk kerajaan yang mengusai 18 kampung di pulau Lembata, antara lain, Desa Lusilame, Nuba Haeraka, Atakore, Lerek, Alap Atadei, Leba Ata, Atalojo, Atakore, Karangora. Kampungkampung ini sekarang tersebar di dua kecamatan yakni, kecamatan Atadei dan kecamatan Wulandoni.Pada masa pra Islam Kerajaan Labala berturutturut
dipimpin
oleh Raja Mayeli,
Raja Pada Mayeli, Raja Sare, Kiwan Gelu Ama atau Raja Atageha,
Raja Baha Mayeli
(18971926) dan Raja Ibrahim Baha Mayeli, sebagai raja terakhir yang
memerintah tahun 1926 -1945, dan
berlanjut hingga masa Republik Indonesia
Serikat (RIS).
Beduk peninggalan di Masjid Almukkarabin, Foto Yogi Making |
Sekedar catatan, Raja Kiwan Gelu Ama
bernama asli Atageha (orang lain) karena Sang Raja berasal
dari Klan/suku Lamarongan,
bukan klan suku Mayeli.
Dengan demikian dapat dikatakan, keturunan
Raja Labala setelah Raja Kiwan
Gelu Ama (Atageha) bukanlah asli suku Mayeli.
Pada Masa pemerintahan Raja Baha
Mayeli, Raja Lebala Kelima (18971926), Lebala sudah mulai mengenal Islam,
melalui pedagang yang datang dari
kerajaan Terong dan Lamahala, dua kerajaan di
pulau Adonara yang
penduduknya terlebih dahulu memeluk agama Islam.
“Penduduk dimasa itu belum memeluk
Islam, tetapi mereka sudah kenal Islam dari
para pedagang
asal kerajaan Lamahala
dan Terong, ketika di Lebala mereka
melakukan ritual keagamaan,jadi
secara
tidak langsung mereka sedang
memperkenalkan agama islam,” tutur Sujudin Mayeli.
Sementara hubungan dengan daerah
daerah lain di pulau Lembata pada era itu, sangat terisolir karena infrastruktur jalan
tidak ada. Transportasi laut adalah satu
satunya pilihan untuk berinteraksi. Maka tidak mengherankan jika Kerajaan Lebala
lebih intens berinteraksi dengankerajaankerajaan di pulau
lain yang memang jauh
lebih mudah untuk dijangkau. Interaksi sosial terutama dengan wilayah
kerajaan
“Solor Watan Lema”
menyebabkan Raja Baha Mayeli, Raja
Lebala Kelima (18971926), ingin mendalami dan mengembangkan Agama
Islam ke wilayahwilayah kekuasaannya,
maka ia mengirimkan putra mahkota (putra
sulungnya, Ibrahim Mayeli) pada tahun 1908, untuk belajar
Foto Gubernur Belanda bersama Raja-Raja Solor Watan Lema. Foto : Arsip Rumah Adat Mayeli |
Agama Islam pada
Raja Marjuki Nampira Raja Alor. Ibrahim
Mayeli mendalami Agama Islam
selama 10
tahun di Kerajan Alor.
“Hubungan dagang ini berpengaruh pada
pemahaman terhadap ajaran agama
Islam,” ujar Sujudin
Mayeli.
Sujudin dipercaya sebagai Juru kunci rumah adat Suku Mayeli, juga
bertugas untuk menjaga kuburan tua Raja Mayeli, Kepala Tongkat Ratu
Wilhelmina II dari Kerajaan Belanda,
Masjid tertua NTT, Almukkarabin dan
prasasti keramat dari ukiran kayu “Ina Ata
Jawa”, Sabtu
(13/7) di Desa Lewo Raja.
Pada tahun kesepuluh, atau usai Putra
Mahkotanya belajar Islam di Alor, Raja Baha Mayeli mengutus orang ke Alor guna
memanggil kembali putra mahkota untuk menggantikan kedudukannya sebagai
Raja, namun Ibrahim Mayeli menolak titah
sang ayah. Ibrahim, lalu ememerintah utusan ayahnya itu
untuk kembali dan berpesan agar sang
ayah terlebih dahulu mengislamkan semua penduduk kampung Lebala, serta
memusnahkan semua hewan anjing dan babi bianatang piaraan penduduk. Jika
tuntutan itu tidak dipenuhi, maka ia
menolak untuk kembali dan memilih untuk terus menetap di Alor. Penduduk Lebala ketika itu, masih menganut kepercayaan animisme.
Segera setelah pesan putranya
disampaikan para utusan yang disuruh
kembali, Raja Baha Mayeli
dengan
kuasanya, memerintahkan untuk
memusnahkan seluruh anjing dan babi dan
mengislamkan kampung Lebala, yang saat
ini menjadi Desa Lewo Raja. Setelah semua Tuntutan
sang putra mahkota terpenuhi, Raja Baha Mayeli lalu,
mengutus lagi para abdinya untuk
menjemput putranya di Alor.Raja Baha Mayeli.
menyerahkan tongkat kerajaan Lebala
kepada putra sulungya Ibrahim Baha Mayeli tahun 1926, pada
masa pemerintahan Raja Ibrahim kerajaan
Lebala mencapai puncak
kejayaannya, yakni Tahun 1945 dan berlanjut hingga
masa pemerintahan RIS, atau setelah sistim
kerajaan dilebur dalam sistim
administrasi pemerintahan republik indonesia.
Dituturkan pula, selain menjalankan roda
pemerintahan sebagai Raja, Ibrahim Mayeli pun kerap
menyebarkan Agama
Islam dengan cara cara bersahaja. Namun antangan terberat dirasakan sang Raja
karena pengaruh penjajah Belanda yang telah terlebih dahulu menyebarkan agama
Katholik di
Lembata melalui Desa
tentangga, Lamalera, hingga ke Desadesa yang menjadi
wilayah kekuasaan
kerajaan
Lebala maka Islam hanya berkembang di
Kampung Lebala dan kampung Luki, Desa Tetangga.
“Karena upaya menyebarkan Islam ini
dianggap sebagai penghalang bagi Misi Penjajah Belanda,
Sujuddin Mayeli, dan Prasati Kayu Yang Mengisahkan Kehadiran Masjid Labala Foto : Yogi Making |
Mayeli.
Kian hari, kesibukannya pemerintahan kian
bertambah. Misi menyebarkan Raja Ibrahim untuk
menyebarkan Islam semakin
sulit dijakannya, menyadari hal itu, Ibrahim lalu meminta bantuan
sahabat dekatnya
Raja Ismail di Kerajaan Lamahala, untuk
mencarikan baginya seorang pendaqwah.
Bersama Raja Ismail, raja Ibrahim lalu
menemui Habib Agel yang bermukim di Waiwerang,(kabupaten Flores Timur),
permintaan dua raja ini dipenuhi oleh Habib Agel
dengan mengutus seorang mu’allaf warga keturunan Cina
Kupang, Baba Abdullah, yang dinilai sudah
mampu berdaqwah. Misi mengembang kan
Islam selanjutnya dijalankan oleh Baba
Abdullah.(Yogi Making)
Artikel ini terbit di Majalah on line, www.floresbangkit.com
Selamat Malam Om Yogi, Menarik cerita kami punya opu alap Raja Ibrahim Baha Mayeli, saudara dari Nogo Mayeli cucu pertama adalah Bapa saya, dia masih sehat dan kemarin 15-05-2020 genap 98 tahun, kalau ragu bisa tanya dengan Ama Hans Koban
BalasHapusHallo...salam sua. Boleh kontak saya di FB, Yogi Making. Tks
BalasHapus