Rabu, 03 Oktober 2018

Labala, Serambi Mekahnya NTT



Masjid  Almukkarabin, Desa Leworaja- Lembata, Masjid Tertua di NTT.
Foto Yogi Making
LEWOLEBA, FBC- ­Haruslah diakui bahwa perjalanan dari Lewoleba menuju desa Lebala, cukup 
menguras kenyamanan fisik. Sebuah perjalanan yang mencerminkan betapa masih belum meratanya 
akses jalan yang baik untuk desa­desa terpencil Setidaknya  itu yang saya alami pada Jumat
(12/7/2013).

Akibat kondisi jalan yang buruk, sehingga perjalanan dari Lewoleba,
(Ibukota Kabupaten Lembata) menuju kampung Lebala, jika menggunakan kendaraan sepeda motor bisa memakan waktu
sekitar 3 jam. Setelah melewati berbagai rintangan, akhirnya sekitar pukul  6.30 petang kami iba di Kampung Lebala atau dikenal juga dengan Desa  Lewo Raja. Lebala terletak di kecamatan
Wulandoni, Kabupaten Lembata.

Gemuruh ombak laut selatan terdengar membahana seakan menyambut kedatangan kami. Bagian utara kampung ini, di bentengi tebing tinggi menjulang. Pemukiman kampung di ujung pesisir selatan Pulau Lomblen itu , tertata apik Rumah­rumah penduduk ditata tepat di pesisir pantai.

Wajah­wajah bersahaja dan lembut menyapa kami yang berjalan menenteng kamera dan tas ransel di pundak. Suara Azan dari Langgar dan surau kecil di tepi jalan menuju Desa Lewo Raja sungguh  menggambarkan,  kami sedang berada di kampung Islam, serambi Mekkah NTT dari Lembata. Dari Desa Leworaja, bekas Kerajaan Lebala inilah, orang Lembata  mengenal agama Islam yang menyebar
hingga saat ini. 

Bekas Kerajaan Lebala inipun dijuluki “Serambi Mekkah NTT”. Meski Jumlah penduduk di Lembata kebanyakan Katolik, namun Islam di embata semakin hari semakinberkembang dalam nuansa damai, berdampingan dengan umat beragama lain.
 
Sujuddin Mayeli (baju Batik) didamping
Kepala Desa Leworaja. Foto Yogi Making
Kepala Kementrian Agama Kabupaten Lembata, Dorothia Nahak, Minggu (14/7/2013) menjelaskan data pemeluk Agama di 
Lembata Tahun 2012,dari Total 124.736 penduduk Lembata, jumlah pemeluk agama Katholik, 87.271, Islam 35.469. Kristen 
1.920, Hindu 73, Budha 3.

“Meski Lebala memulai penyebaran agama Islam namun Kantong Muslim di Lembata terbanyak di wilayah Kedang, Nubatukan dan paling sedikit di Kecamatan Wulandoni,” ujar Nahak.

Dari Pedagang Terong dan Lamahala

Kampung Lebala pada jaman sebelum penjajahan, berbentuk kerajaan yang mengusai 18 kampung di pulau Lembata, antara lain, Desa Lusilame, Nuba Haeraka, Atakore, Lerek, Alap Atadei, Leba Ata, Atalojo, Atakore, Karangora. Kampung­kampung ini sekarang  tersebar di dua kecamatan yakni, kecamatan Atadei dan kecamatan Wulandoni.Pada masa pra Islam Kerajaan Labala berturut­turut
dipimpin oleh Raja Mayeli, Raja Pada Mayeli, Raja Sare, Kiwan Gelu Ama atau Raja  Atageha, 
Raja Baha Mayeli (1897­1926) dan Raja Ibrahim Baha Mayeli, sebagai raja terakhir yang memerintah tahun 1926­ -1945, dan berlanjut hingga masa Republik Indonesia Serikat (RIS).
Beduk peninggalan di Masjid  Almukkarabin,
 Foto Yogi Making

Sekedar catatan, Raja Kiwan Gelu Ama bernama asli Atageha (orang lain) karena Sang Raja berasal 
dari Klan/suku Lamarongan, bukan klan suku Mayeli. Dengan demikian dapat dikatakan, keturunan 
Raja  Labala setelah Raja Kiwan Gelu Ama (Atageha) bukanlah asli suku Mayeli.

Pada Masa pemerintahan Raja Baha Mayeli, Raja Lebala Kelima (1897­1926), Lebala sudah mulai mengenal Islam, melalui pedagang yang datang dari kerajaan Terong dan Lamahala, dua kerajaan di 
pulau Adonara yang penduduknya terlebih dahulu memeluk agama Islam.

“Penduduk dimasa itu belum memeluk Islam, tetapi mereka sudah kenal Islam dari para pedagang 
asal kerajaan Lamahala dan Terong, ketika di Lebala mereka melakukan ritual keagamaan,jadi 
secara tidak langsung mereka sedang memperkenalkan agama islam,” tutur Sujudin Mayeli.

Sementara hubungan dengan daerah­ daerah lain di pulau Lembata pada era itu, sangat terisolir karena infrastruktur jalan tidak ada.  Transportasi laut adalah satu­ satunya pilihan untuk berinteraksi. Maka tidak mengherankan jika Kerajaan Lebala lebih  intens  berinteraksi dengankerajaan­kerajaan di pulau 
lain yang memang jauh lebih mudah untuk dijangkau. Interaksi sosial terutama dengan wilayah kerajaan

 “Solor Watan Lema” menyebabkan Raja Baha Mayeli, Raja Lebala Kelima (1897­1926), ingin mendalami dan mengembangkan Agama Islam ke wilayah­wilayah kekuasaannya, maka ia mengirimkan putra mahkota  (putra sulungnya, Ibrahim Mayeli) pada tahun 1908, untuk belajar 
Foto Gubernur Belanda bersama Raja-Raja Solor Watan Lema.
Foto : Arsip Rumah Adat Mayeli
Agama Islam pada Raja Marjuki Nampira Raja Alor. Ibrahim Mayeli mendalami Agama Islam 
selama 10 tahun di Kerajan Alor.

“Hubungan dagang ini berpengaruh pada pemahaman terhadap ajaran agama Islam,” ujar Sujudin 
Mayeli. Sujudin dipercaya sebagai Juru kunci  rumah  adat Suku Mayeli, juga bertugas untuk menjaga kuburan tua Raja  Mayeli, Kepala Tongkat Ratu Wilhelmina II dari Kerajaan Belanda, Masjid tertua NTT, Almukkarabin dan prasasti keramat dari ukiran kayu “Ina Ata Jawa”, Sabtu 
(13/7) di Desa Lewo Raja.

Pada tahun kesepuluh, atau usai Putra Mahkotanya belajar Islam di Alor, Raja Baha Mayeli mengutus orang ke Alor guna memanggil kembali putra mahkota untuk menggantikan kedudukannya sebagai Raja, namun Ibrahim Mayeli menolak titah sang ayah. Ibrahim, lalu ememerintah utusan ayahnya itu untuk kembali dan berpesan agar sang ayah terlebih dahulu mengislamkan semua penduduk kampung Lebala, serta memusnahkan semua hewan anjing dan babi bianatang piaraan penduduk. Jika tuntutan itu tidak dipenuhi, maka ia menolak untuk kembali dan memilih untuk terus menetap di Alor. Penduduk Lebala ketika itu, masih menganut kepercayaan animisme.

Segera setelah pesan putranya disampaikan para utusan yang disuruh kembali, Raja Baha Mayeli 
dengan kuasanya, memerintahkan untuk memusnahkan seluruh anjing dan babi dan mengislamkan  kampung Lebala, yang saat ini menjadi Desa Lewo Raja. Setelah semua Tuntutan sang putra mahkota terpenuhi, Raja Baha Mayeli lalu, mengutus lagi para abdinya untuk menjemput putranya di Alor.Raja Baha Mayeli. menyerahkan tongkat kerajaan Lebala kepada putra sulungya Ibrahim Baha Mayeli tahun 1926, pada  masa pemerintahan Raja Ibrahim kerajaan Lebala mencapai puncak 
kejayaannya, yakni Tahun 1945 dan berlanjut hingga masa pemerintahan RIS, atau setelah sistim 
kerajaan dilebur dalam sistim administrasi  pemerintahan republik indonesia.

Dituturkan pula, selain menjalankan roda pemerintahan sebagai Raja, Ibrahim Mayeli pun kerap 
menyebarkan Agama Islam dengan cara ­cara bersahaja. Namun antangan terberat dirasakan sang Raja karena pengaruh penjajah Belanda yang telah   terlebih  dahulu  menyebarkan agama Katholik di 
Lembata melalui Desa tentangga, Lamalera, hingga ke Desa­desa yang  menjadi  wilayah  kekuasaan 
kerajaan Lebala maka Islam hanya berkembang di Kampung Lebala dan kampung Luki, Desa Tetangga.
 
“Karena upaya menyebarkan Islam ini dianggap sebagai penghalang bagi Misi Penjajah Belanda, 
Sujuddin Mayeli, dan Prasati Kayu Yang Mengisahkan Kehadiran Masjid Labala
Foto : Yogi Making
maka Raja Ibrahim pun ditangkap dan diasingkan pemerintah Belanda ke Ende. Raja Ibrahim di”penjarakan” di Kandang Sapi,” ujar Penjaga Situs Masjid tertua di NTT di Lembata, Sujudin 
Mayeli.

Kian hari, kesibukannya pemerintahan kian bertambah. Misi menyebarkan Raja Ibrahim untuk 
menyebarkan Islam semakin sulit  dijakannya, menyadari hal itu, Ibrahim lalu meminta bantuan 
sahabat dekatnya Raja Ismail di Kerajaan Lamahala, untuk mencarikan baginya seorang pendaqwah.

Bersama Raja Ismail, raja Ibrahim lalu menemui Habib Agel yang bermukim di Waiwerang,(kabupaten Flores Timur), permintaan dua raja ini dipenuhi oleh Habib  Agel dengan mengutus seorang mu’allaf warga keturunan Cina Kupang, Baba Abdullah, yang dinilai sudah
mampu berdaqwah. Misi mengembang kan Islam selanjutnya dijalankan oleh Baba Abdullah.
(Yogi Making)

Artikel ini terbit di Majalah on line, www.floresbangkit.com

2 komentar:

  1. Selamat Malam Om Yogi, Menarik cerita kami punya opu alap Raja Ibrahim Baha Mayeli, saudara dari Nogo Mayeli cucu pertama adalah Bapa saya, dia masih sehat dan kemarin 15-05-2020 genap 98 tahun, kalau ragu bisa tanya dengan Ama Hans Koban

    BalasHapus
  2. Hallo...salam sua. Boleh kontak saya di FB, Yogi Making. Tks

    BalasHapus